Minat baca di kalangan para pemuda desa sampai saat ini dinilai masih rendah. Sebab, mereka belum memiliki sarana yang memadai untuk melakukan kegiatan membaca. Untuk itulah, pendamping Lokal Desa Kecamatan Sei Kepayang Barat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara mendirikan sebuah taman baca masyarakat “ Batambat Satangkahan” untuk mewujudkan rumah baca di desa. Dilihat dari wilayah 3 kecamatan, yaitu kecamatan Sei Kepayang Barat, Sei Kepayang Timur, Sei Kepayang Induk, hanya satu satu nya ada taman baca masyarakat, sedangkan untuk diwilayah Kabupaten asahan masih sangat minim Taman Baca hanya Sekitar 4 Taman Baca saja diantara 25 Kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan dilihat dari data Donasi Buku Kemendikbud.
Pendamping lokal Desa Kecamatan Sei Kepayang Barat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, MULKAN HASANUDDIN mengatakan, jumlah pemuda produktif di sejumlah desa cukup banyak. Misalnya, di Desa Sei Nangka terdapat sekitar 60 persen dari jumlah warga yang mencapai 4153 penduduk. “Bila tidak diberi wadah dengan kegiatan positif, maka akan lahirnya pada perbuatan negatif, seperti kriminal,” terangnya.
Sesuai dengan kesepakatan Menteri Desa, Menteri Sosial, dan Perpustakaan Nasional RI. membahas sinergitas pembentukan rumah baca desa. “Ini salah satu upaya percepatan menuju desa mandiri dan berdaulat, yakni membangun sumber daya manusianya,” kata Mulkan. Menurut dia, pihaknya bersinergi dengan Kasi PMK kec Sei Kepayang Barat untuk meningkatkan budaya literasi desa. Sebab, minat baca pemuda desa yang masih berusia produktif sangat rendah. “Salah satunya, proyek pertama akan dilakukan di Desa Sei Nangka. Di sana banyak pemuda yang menghabiskan waktu dengan nongkrong,” tuturnya.
Untuk itu, lanjut dia, pendamping lokal desa mencoba merumuskan rumah baca dengan memanfaatkan Saung Posyandu Mangga yang berada di dusun III Desa Sei Nangka dan tidak digunakan lagi. Harapannya, setiap desa ada Taman Baca Masyarakat yang disediakan oleh pemerintah desa. Pembentukan sarana ini mendapat dukungan penuh dari para pemerintah desa setempat. Di desa lain memang belum ada, pendamping desa mencoba mengawali dari Desa Sei Nangka Kec Sei Kepayang Barat.
Konsepnya, kata pria asal Desa Sei Serindan (Ahmad Sahlan SH)tersebut, perpustakaan bisa menyediakan yang mereka miliki, sedangkan tempat ataupun SDM sudah ada di desa.Dia menambahkan, perpusda harus hadir untuk berbagi peran dalam pembangunan desa. “Apa yang bisa dibawa ke desa, misal sebagian dari buku atau pelatihan managemen pengelolaan perpustakaan desa,” paparnya. Bahkan, bila banyak pemuda yang memiliki kemampuan dan semangat di bidang tulis-menulis.
Perpustakaan bisa memberikan pelatihan. Ini menarik karena bisa menjadi investasi masa depan desa. Pembentukan rumah baca desa itu sudah dilouncing pada tanggal 31 12 / 2017 yang lalu .Ini Ada enam Desa dikecamatan sei kepayang barat, diantara 6 desa tersebut tiga desa yang menjadi pilot project, pertama Desa Sei Nangka, Desa Sei Jawi-Jawi, dan Desa Sei Serindan Melalui sarana ini, para pemuda desa diharapkan terus berkembang dan menjadi wadah untuk lebih produktif. “Apalagi, sudah disediakan sarana olahraga untuk mengasah kemampuan mereka. Ini juga untuk menghindari kegiatan negatif pemuda desa,” tandasnya.
LITERASI telah menjadi isu seksi yang selalu dibicarakan. Mulai dari yang bergelut dalam bidang literasi, sampai yang secara konsep kurang paham literasi. Keyakinan bahwa masa depan bangsa dititipkan lewat kemampuan literasi anak negeri, membuat dunia pendidikan berkomitmen mengembangkan kegiatan literasi.
Berbicara tentang literasi, mengingatkan pada pengalaman menarik yang terjadi. Terlihat sebuah pemandangan yang cukup mengejutkan. Beberapa siswa sedang duduk di teras musala. Sepintas memang terlihat wajar. Namun, ternyata ada ketidakwajaran yang terjadi. Ketika terlihat sepatu siswa berada di atas tangga lantai musala yang bertuliskan “batas suci”. Sungguh peristiwa yang ironis bagi dunia pendidikan yang sedang gencar menggembar-gemborkan pendidikan karakter.
Peristiwa tersebut haruslah menjadi cambuk bagi semuanya. Bagaimana tidak. Hanya dengan tulisan berjumlah dua kata yang mudah dibaca. Tetapi siswa tidak mampu memahami makna tulisan yang ada. Mungkin siswa tersebut paham, tetapi tidak menghiraukan tulisan. Semua ini patut menjadi bahan evaluasi. Apakah kemampuan literasi siswa sudah seperti yang diharapkan?
Aktivitas membaca memang mudah. Tetapi ternyata siswa sulit untuk memahami makna sebuah tulisan. Ada yang mampu tentang literasi, tetapi tidak mau mengembangkan literasi. Sehingga kualitas literasinya berkurang. Banyak aspek yang memungkinkan tak peduli dengan literasi. Kebiasaan terhadap segala sesuatu yang praktis, membuatnya tidak mengetahui bahwa proses berkembang itu dengan membaca.
Siswa seringkali mengabaikan dan meremehkan hal-hal kecil. Misalnya saja mengabaikan tanda, gambar, kata singkat berisi peringatan, larangan, atau himbauan. Hal itu bisa mencelakakan diri sendiri atau orang lain. Bahkan, bisa juga menimbulkan dampak sosial yang buruk di mata masyarakat.
Pemerintah sudah menerapkan gerakan literasi dalam proses pembelajaran di sekolah. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Gerakan literasi sekolah bertujuan membiasakan siswa untuk membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti. Dalam jangka panjang, diharapkan dapat menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan literasi tinggi. Yaitu mampu mengakses, memahami,dan menggunakan informasi dengan cerdas.
Kegiatan literasi memang merujuk pada kemampuan dasar seseorang dalam membaca dan menulis. Sehingga selama ini, strategi yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut adalah menumbuhkan minat membaca dan menulis. Strategi membaca non-teks selama lima belas menit sebelum jam pertama, merupakan langkah awal untuk membiasakan siswa gemar membaca. Bahkan, strategi tersebut berkembang menuntut siswa menghasilkan karya- karya buah pemikirannya.
Pelaksanaan GLS menjadi tanggung jawab bersama pemangku pendidikan. Bukan hanya siswa saja yang menjadi sasaran gerakan ini. Mulai dari kepala sekolah, pendidik, tenaga pendidik, hingga komite sekolah, menjadi target gerakan literasi. Dengan demikian, kegiatan literasi tidak hanya dalam aktivitas belajar mengajar di kelas saja. Namun, juga terlihat di perpustakaan, disetiap pojok baca kelas, dan di lingkungan sekolah.
Literasi ada beberapa jenis, yaitu literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi dan literasi visual. Literasi dasar meliputi kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung. Literasi perpustakaan adalah kemampuan memahami dan membedakan karya fiksi atau non fiksi. Literasi media adalah kemampuan memahami bentuk media cetak, media elektronik. Literasi teknologi, menuntut siswa mengerti cara menggunakan internet serta memahami etika dalam menggunakan teknologi. Sedangkan literasi visual hadir dari pemikiran bahwa gambar bisa ‘dibaca’.
Posting Komentar
Berkomentar sesuai dengan judul blog ini yah, berbagi ilmu, berbagi kebaikan, kunjungi juga otoriv tempat jual aksesoris motor dan mobil lengkap